Minggu, 21 Oktober 2007

10 TAHUN KEBAKARAN GUNUNG MASIGIT


Kebakaran Gunung Masigit di kawasan Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) Resort Situgunung
Kabupaten Sukabumi. (ERIEK/Dok.Kusukabumiku)

Tinggalkan Kenangan dan Kini, Dampaknya Trasakan.....!?

“Kami mendapat informasi bahwa ada api di sekitar Gunung Masigit, hari Rabu (24/9) sekitar jam 23.00 BBWI dari kawan saya yang berada di Pondok Halimun. Mereka mengatakan, masyarakat Perbawati resah melihat api di sekitar Gunung Masigit,” jelas Eriek Nurhikmat, Koordinator Volunteer Panthera pada artikel yang berjudul Taman Nasional Gunung Gede Pangrango “PARU-PARU DUNIA YANG IKUT TERBAKAR” ditulis Budiyanto yang terbit pada Harian Umum BANDUNG POS, November 1997 lalu.

Jumat, 19 September 2007 pukul 10 ; 45 WIB, memang terlambat, tapi Aku mencoba mengabari Eriek Nurhikmat dan beberapa orang lainnya melalui pesan singkat untuk mengingatkan saja…..Cuma sayang, satu orang yang tidak bisa kuhubungi Dick Dimas Ryadi (entah dimana aku ga punya nomor henponnya). Saat penanggulangan kebakaran, Eriek dan Dimas dari Volunteer Panthera beserta Aku menyukarelakan diri untuk menjadi ‘pengendus’ langsung ke asal titik-titik api sebagai Tim Investigasi.

Isi pesan singkatku, “INFOKU…: 10 tahun sudah Gunung Masigit terbakar meninggalkan kenangan dan kini DAMPAKNYA TRASAKAN (24/9-5/10 thn 1997) “Mari qta trus brjuang utk mmbelanya !”

Eriek pun yang ternyata berada di Pulau Nias, Sumatera Utara (Sumut) sedang ada tugas pemotretan, langsung menelepon menghubungiku, namun saat itu sekitar pukul 11.00 WIB aku sudah keluar rumah menuju Masjid Al – Muhajirin untuk menunaikan Sholat Jum’at. Akhirnya, setelah pulang aku balas lewat SMS…..Eriek pun langsung membalasnya, ”lg di Nias, bud sekarang..blk tgl 25 mungkin langsung ke sukbum, teu karaos nya 10 thn gn masigit teh..”

Aku ingat, Kami bertiga saat itu Eriek dan Dimas, Minggu (28/9/97) pukul 10.30 WIB mulai meninggalkan Poskodal Satkorlak Kebakaran Gunung Masigit di Situ Gunung. Pada ketinggian 2.100 meter dari permukaan laut (m dpl) kami bertiga memasang tenda dan bergabung di lokasi base camp Alap-alap Batalyon ARMED 13 yang dipimpin Danki I Lettu. Art. Edi Yuswandar dan Danki II Lettu.Art. Dicky Rustandi. Sedangkan para prajurit itu bermalam hanya berlindung dengan membuat tenda darurat (bivouac).

Hari-hari selanjutnya, kami bertiga terus menyusuri jalur-jalur bekas kebakaran dan mendekati sumber-sumber api hingga akhirnya pada punggungan Gunung Masigit hingga ketinggian 2.553 m dpl. Dalam perjalanan banyak sekali sampah-sampah bekas para pengunjung liar, termasuk para pendaki gunung. Padahal, Gunung Masigit bukan gunung di kawasan TNGP yang terbuka untuk pendakian. Akhirnya kami membuat base camp dan memasang tenda pada puncak Gunung Masigit. Dengan beralaskan abu-abu bekas serasah yang terbakar dan membuat di dalam tenda pun terasa panas, tak perlu mengenakan sleeping bag.

Namun, hingga sepuluh tahun ini aku belum tahu kepastian dari sumber api yang kali pertama dan menjadi penyebab kebakaran terhebat di lingkungan kawasan konservasi TNGP. Pada saat kejadian, dipersalahkan sumber api diduga berasal dari 9 pendaki gunung yang masuk Kampung Cilamping, Pasir Datar. Namun, pada perkembangannya ada diiusukan dengan adanya sabotase berkaitan kebakaran yang terjadi di kawasan TNGP itu secara beruntun mulai dari Gunung Sela dan Gunung Pangrango. Bahkan ada juga dugaan akibat sejumlah oknum masyarakat yang mengambil rotan dengan cara dibakar, karena agar mudah.

Bagiku persoalan penyebabnya sudah menjadi lain, saat ini yang paling penting, kita semua telah merasakan dampak dari kebakaran Gunung Masigit tersebut. Kendatipun semuanya itu tergantung sensitifitas pribadi manusianya masing-masing.

Silakan oleh sendiri, oleh jiwa yang bebas rasakan…………
Aku tidak bisa menjawab,
karena yang aku rasakan………
belum tentu yang lain merasakannya…….
Karena aku adalah bagian dari orang yang tak pintar……….
Dan yang aku bisa hanya memberikan info saja
Kendatipun, info tersebut hanya sebagai pengingatku
Untuk terus belajar….belajar……dan belajar…..

Balasan SMSku pun datang dari yang lainnya. Satu diantaranya dari mantan pemimpinku saat di Surat Kabar Pakuan Grup Pikiran Rakyat, Drs. Rahmat Djuniardi. Saat kejadian, Pak Rahmat masih menjadi wartawan Pikiran Rakyat yang ditugaskan di Sukabumi. Dengan guyonannya yang khas Pak Rahmat menuliskan sebagai berikut, “Iya yah….. Hidup & Lestarikan Lingkungan serta hidup BUDIYANTO. Hehe…he.. RADJOEN/SukabumiKOE”.

Nampaknya saking penasarannya, Pak Rahmat pun tidak lama kemudian menghubungiku lewat telepon genggamnya. Langsung kami pun ngobrol-ngobrol sambil mengenang kejadian kebakaran tersebut. Dia pun mengingatkanku pada saat kejadian, “Budi lagi di Majalengka ya…..!” Aku jawab ya…..saat itu aku memang lagi jadi jurnalis Bandung Pos di Majalengka. Bahkan Pak Rahmat pun langsung teringat dan menanyakan Eriek Nurhikmat yang saat itu berhasil mendokumentasikan foto-foto kebakaran.

Ya….memang tak trasa 10 tahun itu, kita lewatkan begitu saja…..apalagi tanpa melakukan pemantauan dan pengamatan secara rutin untuk kawasan bekas kebakaran tersebut. Tapi, bagiku sebenarnya 10 tahun yang dilalui ini serasa lama sekali. Karena sejak terjadinya kebakaran, aku pernah berharap ingin kembali naik……mendaki Gunung Masigit untuk melihat pohon-pohon besar yang tumbang hangus terbakar….. dan yang pasti perkembangan alamnya, bagaimana setelah sepuluh tahun terbakar.

Namun, pada waktunya ternyata tidak mudah untuk kembali mencapainya, bukan alasan perizinan, bukan alasan lainnya. Aku benar-benar lupa, benar…..benar lupa waktu kejadiannya. Dalam memoriku kejadiannya selalu bulan Oktober. Untungnya Jumat, 15 Oktober 2007 pagi aku mencoba membuka-buka arsip dan foto-foto. Alhasil musibah kebakaran yang sempat menggegerkan Sukabumi itu ternyata terjadi pada tanggal 23 September 1997 dan berlangsung hingga 5 Oktober 1997.

Sebenarnya untuk melaksanakan keinginanku menyaksikan kembali Gunung Masigit 10 tahun sudah kurencanakan pada awal tahun ini. Aku ingat…..aku sudah menawarkan kepada sejumlah orang, termasuk satu diantaranya salah seoarng temanku, Mode. Mode yang berbadan sterek dan kuat pun sudah menyatakan kesiapannya dengan penuh semangat, asal diberitahu sebelumnya. Dia pun siap membawakan barang-barangku, karena dia memaklumi kalau kakiku agak cedera.

Namun, Allah berkehendak lain, Mode telah kembali menghadap kepada Illahi Rabbi pemilik bumi ini. Sebelum dia menemaniku menginjakkan kakiku di Gunung Masigit. Dengan semangatmu, Mode….., Insya Allah, aku harus menginjakkan kembali kakiku di sisa-sisa kebakaran Gunung Masigit yang menghanguskan sekitar 200 hektar di lahan konservasi tersebut. Namun, lagi-lagi……entah kapan waktunya dan menunggu orang yang siap menjadi sukarelawan untuk membawakan sebagian barang-barangku…….

Sebenarnya dalam sepuluh tahun ini, aku sudah dua kali menapakkan kakiku di bekas-bekas kebakaran Gunung Masigit tersebut. Kedua-duanya pendakian tersebut juga bersama Eriek Nurhikmat, Erland Herlambang dan banyak temanku lainnya. Yang pertama, seingatku pada bulan Maret 1998, hanya beberapa bulan setelah terjadinya kebakaran. Dan yang kali kedua pada bulan Juli 2003 saat aku menjadi jurnalis pada SK Pakuan Grup Pikiran Rakyat di Sukabumi.

Mengenai Infoku tentang 10 Tahun Kebakaran Gunung Masigit direspon yang lainnya. Ada komentar bahkan ada pertanyaan. Ada Koko wartawan Kompas, ada Ajun wartawan Galamedia, ada QQ, ada juga yang ngoreksi waktu kejadiannya, ada juga yang membalas dengan cukup satu kata, “Merdeka”. Ada juga yang menulis, “Thank infonya, Mari kita berjuang terus melestarikan hutan dan alam kita”. Ya…..mudah-mudahan infoku yang kuberikan bermanfaat dan mengingatkan, khususnya bagiku untuk terus berjuang membela lingkungan ini…………semoga !

1 komentar:

abink mengatakan...

aslkm kang kalo boleh pengen lihat photo2 nya.