Sabtu, 03 November 2007

SEBUAH CATATAN DARI SUNGAI CIPELANG

“…..ulah ulin kadinya, etamah hulu cai, pamali ! bisi aya nanaon…….” (pepatah sunda)
Kawasan rimba belantara Gede Pangrango dengan kisaran ketinggian antara 700 hingga 3.019 meter dari permukaan laut (m dpl) merupakan salah satu perwakilan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan yang menurut sejumlah ahli termasuk kawasan alami yang relatif utuh di Pulau Jawa. Namun, sebenarnya kondisi alaminya semakin hari semakin terancam, baik secara alami maupun akibat berbagai aktifitas manusia yang legal dan illegal.

Padahal rimba belantara Gede Pangrango tersebut memiliki manfaat yang sangat vital dan sangat besar sekali bagi kehidupan manusia. Diantaranya sebagai sumber air (menurut catatan Gede Pangrango mengalirkan air pertahun mencapai 8 milyar liter), sumber oksigen dan pengatur kestabilan iklim baik mikro maupun makro. Juga, sebagai hutan tropis, Gede Pangrango dipastikan sebagai salah satu “paru-paru dunia”


Manfaat dan kenikmatan tersebut telah dirasakan terus menerus dari generasi ke generasi berikutnya. Kendatipun, generasi saat ini nampaknya tidak merasakan apa yang dirasakan generasi yang lalu, sebelum rimba belantara Gede Pangrango terjamah. “Dan rimba belantara Gede Pangrango ini harus diselamatkan dan mendapat perlindungan khusus sekarang juga, demi kepentingan saat ini dan masa yang akan datang !”

Kawasan bergunung-gunung nan gagah dan penuh misteri itu, letaknya sangat strategis dikelilingi perkampungan dan perkotaan seperti Sukabumi, Cianjur, Bogor, Cianjur, Bandung dan Ibu Kota Republik Indonesia di Jakarta. Diperkirakan jumlah penduduk yang berada dan merasakan manfaatnya dari Gede Pangrango itu lebih dari 30 juta jiwa.

Sejak 6 Maret 1980 oleh Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Pertanian, rimba belantara Gede Pangrango tersebut ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi yakni sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan statusnya sebagai “Taman Nasional Gunung Gede Pangrango” (TNGP) dengan luas 15.196 hektar. TNGP pun merupakan salah satu dari lima taman nasional tertua di Indonesia.

Sejak tahun 2003, berdasarkan SK Menhut No. 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 kawasan TNGP diperluas menjadi 21.975 hektar. Kawasan perluasan berasal dari hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani. Dan sejak Agustus 2007 ini, status pengelolaan TNGP ditingkatkan dari Balai TNGP menjadi Balai Besar TNGP dengan dipimpin oleh pejabat eselon 2. Balai Besar TNGP membawahi tiga Kepala Bidang Pengelolaan TN dengan dipimpin pejabat eselon 3, yakni Bidang PTN Wilayah Sukabumi, Cianjur dan Bogor.

Sebenarnya, perlindungan kawasan rimba belantara Gede Pangrango sudah diawali sejak jaman kolonial Belanda pada tahun 1830 dengan berdirinya Botanical Garden di wilayah Cibodas yang menjadi cikal bakal Kebun Raya Cibodas. Juga pada tanggal 17 Mei 1889, pemerintah Hindia Belanda membentuk Cagar Alam Cibodas dengan luas 240 hektar. Dan tahun 1977, UNESCO menetapkan Gede Pangrango sebagai Cagar Biosfer Cibodas yang merupakan paru-paru dunia, dengan kawasan TNGP sebagai zona intinya.

TNGP yang berada di bawah naungan Departemen Kehutanan – Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) mempunyai visi : “Terwujudnya pengelolaan TNGP berdasarkan pelestarian ekosistem yang adil, demokratis dan berbasis kerakyatan” dengan misinya Mewujudkan pengelolaan TNGP dengan memperhatikan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis beserta ekosistemnya dan pemanfaatan biodiversitas secara lestari. Dan Mewujudkan pengelolaan TNGP yang berwawasan sosial, budaya, lingkungan dan ekonomi.

Sungai cipelang

Namun, sayangnya salah satu hutan yang tersisa di muka bumi ini dan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia, menurut berbagai informasi, kini kondisinya tidak luput dari berbagai pengrusakan dan penghancuran. Diantaranya, akibat pembalakan liar (illegal logging), penjarahan, perambahan kawasan, perburuan flora dan fauna, pengunjung dan pendaki gunung liar, pengunjung yang tidak peduli, kegaduhan atau kebisingan para pengunjung, kegiatan wisata massal dan juga banyak gangguan lainnya.

Bahkan pengrusakan dan penghancuran kawasan tersebut dapat diakibatkan juga oleh pemanfaatan legal dari pengelola itu sendiri, yakni TNGP. Semisal pembuatan program kegiatan yang pada kenyataannya dilakukan secara asal-asalan, hanya sebatas proyek yang tidak berkesinambungan. Juga, bisa berasal dari oknum petugas TNGP sendiri. Tentunya bagi petugas yang tidak memiliki dedikasi dan integritas tinggi terhadap tugas yang diembannya atau ingkar dari konservasi.

(Semoga saja hal ini tidak terjadi dan jangan sampai terjadi terus di TNGP. Karena bila pengelola Gede Pangrango terus melakukannya, perlahan tapi pasti hutan kebanggaan warga Indonesia ini akan cepat musnah).

Sedangkan sebagai masyarakat pada umumnya yang mendapatkan manfaat dari Hutan Hujan Tropis Pegunungan Gede Pangrango ini, baik secara langsung maupun tidak langsung sudah sepatutnya harus ikut bertanggungjawab atas keselamatan rimba belantara tersebut untuk kepentingan sekarang dan masa yang akan datang.

“Apalagi luas rimba belantara Gede Pangrango semakin tidak sebanding dengan jumlah populasi manusia yang membutuhkan oksigen dan air dari Gede Pangrango.”

Dari kawasan hutan hujan tropis pegunungan Gede Pangrango mengalir sejumlah 1.075 anak sungai yang bermuara pada 58 sungai induk, diantaranya Sungai Cipelang. Airnya mengalir dengan jernih dan merupakan sumber air kehidupan yang sangat paling vital bagi masyarakat yang tinggal di bawahnya. Sungai Cipelang, sekarang ini harus dan sangat perlu mendapat perhatian dari berbagai kalangan untuk ikut bertanggungjawab dan ikut andil dalam menyelamatkannya.

Apalagi menurut informasi, beberapa tahun lampau kawasan hutan di sekitar hulu Sungai Cipelang sempat dieksploitasi hingga terjadi pengrusakan. Mulai dari penebangan pohon-pohonnya untuk membuat bahan bangunan hingga dibuat untuk arang. Begitu juga, kehidupan dan material Sungai Cipelang mulai dari pasir hingga batu-batunya sempat dieksploitasi. Namun secara alami dan bertahun-tahun kawasan hutan di hulu Sungai Cipelang itu ‘berhasil mengobati luka-lukanya yang parah dengan sendirinya’.

Kini setelah kawasan tersebut pulih secara alami, kembali dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Dan, pengrusakan hingga penghancuran terjadi kembali dan mengancam kelangsungan kehidupan. Bahkan bila dibiarkan mungkin akan lebih parah dari sebelumnya. Sejak tahun 1980-an, kawasan Sungai Cipelang yang juga dikenal dengan nama “Baru Halimun” menjadi salah satu tujuan obyek wisata di Kabupaten Sukabumi, terutama bagi para penggiat alam bebas dan para pekemah.

Diawali dengan dimanfaatkannya kawasan lindung milik PTPN VIII Goalpara – Afdeling Perbawati untuk perkemahan oleh sejumah penggiat alam bebas dan para pekemah yang diikuti dengan berdirinya warung-warung di pingiran Sungai Cipelang. Selanjutnya, kawasan “Baru Halimun” tersebut menjadi semakin terbuka dan terkenal setelah dibukanya buper oleh Perum Perhutani, Taman Nasional Gede Pangrango hingga Dinas Pariwisata Daerah (Diparda) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi.

Namun harumnya nama Sungai Cipelang dan “Baru Halimun” luluh mengikuti jaman setelah Pemkab Sukabumi memberi nama obyek wisata yang dikelola Diparda tersebut dengan nama “Pondok Halimun” alias PH. Padahal, baik Sungai Cipelang dan “Baru Halimun” mengandung banyak makna dan sejarah yang seharusnya dipertahankan dan dilestarikan.

Selain pemandangan alam dan suasana alami yang selalu diselimuti kabut (halimun) di kawasan hulu Sungai Cipelang itu, juga merupakan salah satu Pusat Kunjungan ke TNGP untuk penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas dan rekreasi. Diantaranya, terdapat jalur pendakian ke Gunung Gede dan Gunung Pangrango, bumi perkemahan (buper). Dan berjarak sekitar 3,5 kilometer terdapat air terjun, Curug Cibeureum yang merupakan salah satu tujuan rekreasi ke kawasan wisata ‘Baru Halimun”.

Untuk itulah Kusukabumiku sebagai bagian dari masyarakat yang telah mendapatkan manfaat banyak, baik langsung maupun tidak langsung dari rimba belantara Gede Pangrango itu, ingin melakukan upaya pembelaan untuk kawasan tersebut. Kendatipun saat ini upaya yang dilakukan hanya berlokasi di sekitar Sungai Cipelang – “Baru Halimun”.

“Karena, Sungai Cipelang di “Baru Halimun” ini merupakan sumber air bagi kelangsungan kehidupan masyarakat di sekitarnya, termasuk juga bagi sejumlah sukarelawan dan pendukung Kusukabumiku.”

Adapun kegiatannya diberinama SUKA di GP (Solidaritas untuk Keselamatan Alam di Gede Pangrango). Kegiatan SUKA di GP merupakan salah satu rangkaian dari program kerja utama “Stop Merusak Lingkungan Sekarang juga dan Selamanya”. Dan untuk tahun 2007 ini, penjabaran program utama tersebut dikonsentrasikan pada program “Selamatkan Hutan yang Tersisa !”.

Kegiatan dilaksanakan, diantaranya melalui kampanye, pendidikan, pemantauan dan pengamatan serta publikasi dan dokumentasi dengan berbagai cara, baik spontanitas, terencana hingga terbuka maupun tertutup. Diantaranya kegiatan “Belajar Mengenal Hutan secara Alami” , peringatan Hari Bumi 22 April 2007, Operasi Sampah, penyebaran lembar informasi, pelayanan pengunjung dan pengamatan burung.

Pelaksanaan kegiatan seluruhnya dipusatkan di wilayah TNGP Resort Selabintana dan sekitarnya. Pada pelaksaanaan kegiatan melibatkan para pendukung dan sukarelawan Kusukabumiku, masyarakat Kampung Selajambu Desa Warnasari Kecamatan/Kabupaten Sukabumi, sejumlah pelajar, petugas TNGP dan sejumlah anggota Volunteer Panthera.

Sementara dalam kegiatan SUKA di GP yang dilaksanakan secara spontanitas pada 25 Juli hingga 24 September 2007 (selama dua bulan) merupakan sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan bagi Kusukabumiku dalam melaksanakan kegiatan SUKA di GP selanjutnya. Banyak hasil yang didapat dari kegiatan spontanitas selama dua bulan tersebut yang perlu mendapat kajian dan penanganan khusus.

Dan diharapkan ke depannya SUKA di GP ini tetap berjalan dan dapat melibatkan banyak orang dengan disesuaikan kemampuannya masing-masing. Karena rimba belantara Gede Pangrango, saat ini dan selanjutnya sangat membutuhkan uluran tangan, bukan saja para ahli dibidang konservasi, kehutanan dan ekologi, melainkan semua orang.

Dan yang paling penting adalah masyarakat yang berkomitmen terhadap upaya penyelamatan dan perlindungannya………. , bukan masyarakat yang hanya berpikir dari sisi pemanfaatannya melulu……….Karena, disinyalir sampai saat ini pengelolaan Gede Pangrango, banyak sebatas proyek…..dan nilai proyek yang tidak berkelanjutan. “Tak ada benang merahnya !”

Saat ini, SUKA di GP mendapat bantuan dari sukarelawan dan pendukung Kusukabumiku serta sejumlah masyarakat yang tidak menghendaki kawasan rimba belantara Gede Pangrango rusak dan musnah……….

Kusukabumiku mengundang siapapun untuk ikut aktif terlibat dalam kegiatan SUKA di GP, boleh sebagai pemberi do’a, pemikir, pelaksana, pendukung, sukarelawan, simpatisan dan boleh juga hanya sebagai donatur saja !!!!
BILA ANDA TIDAK MAU RIMBA BELANTARA GEDE PANGRANGO RUSAK DAN MUSNAH, BERGABUNGLAH BERSAMA SUKA DI GP !

foto-foto : budi dan inan/kusukabumiku

Minggu, 21 Oktober 2007

10 TAHUN KEBAKARAN GUNUNG MASIGIT


Kebakaran Gunung Masigit di kawasan Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) Resort Situgunung
Kabupaten Sukabumi. (ERIEK/Dok.Kusukabumiku)

Tinggalkan Kenangan dan Kini, Dampaknya Trasakan.....!?

“Kami mendapat informasi bahwa ada api di sekitar Gunung Masigit, hari Rabu (24/9) sekitar jam 23.00 BBWI dari kawan saya yang berada di Pondok Halimun. Mereka mengatakan, masyarakat Perbawati resah melihat api di sekitar Gunung Masigit,” jelas Eriek Nurhikmat, Koordinator Volunteer Panthera pada artikel yang berjudul Taman Nasional Gunung Gede Pangrango “PARU-PARU DUNIA YANG IKUT TERBAKAR” ditulis Budiyanto yang terbit pada Harian Umum BANDUNG POS, November 1997 lalu.

Jumat, 19 September 2007 pukul 10 ; 45 WIB, memang terlambat, tapi Aku mencoba mengabari Eriek Nurhikmat dan beberapa orang lainnya melalui pesan singkat untuk mengingatkan saja…..Cuma sayang, satu orang yang tidak bisa kuhubungi Dick Dimas Ryadi (entah dimana aku ga punya nomor henponnya). Saat penanggulangan kebakaran, Eriek dan Dimas dari Volunteer Panthera beserta Aku menyukarelakan diri untuk menjadi ‘pengendus’ langsung ke asal titik-titik api sebagai Tim Investigasi.

Isi pesan singkatku, “INFOKU…: 10 tahun sudah Gunung Masigit terbakar meninggalkan kenangan dan kini DAMPAKNYA TRASAKAN (24/9-5/10 thn 1997) “Mari qta trus brjuang utk mmbelanya !”

Eriek pun yang ternyata berada di Pulau Nias, Sumatera Utara (Sumut) sedang ada tugas pemotretan, langsung menelepon menghubungiku, namun saat itu sekitar pukul 11.00 WIB aku sudah keluar rumah menuju Masjid Al – Muhajirin untuk menunaikan Sholat Jum’at. Akhirnya, setelah pulang aku balas lewat SMS…..Eriek pun langsung membalasnya, ”lg di Nias, bud sekarang..blk tgl 25 mungkin langsung ke sukbum, teu karaos nya 10 thn gn masigit teh..”

Aku ingat, Kami bertiga saat itu Eriek dan Dimas, Minggu (28/9/97) pukul 10.30 WIB mulai meninggalkan Poskodal Satkorlak Kebakaran Gunung Masigit di Situ Gunung. Pada ketinggian 2.100 meter dari permukaan laut (m dpl) kami bertiga memasang tenda dan bergabung di lokasi base camp Alap-alap Batalyon ARMED 13 yang dipimpin Danki I Lettu. Art. Edi Yuswandar dan Danki II Lettu.Art. Dicky Rustandi. Sedangkan para prajurit itu bermalam hanya berlindung dengan membuat tenda darurat (bivouac).

Hari-hari selanjutnya, kami bertiga terus menyusuri jalur-jalur bekas kebakaran dan mendekati sumber-sumber api hingga akhirnya pada punggungan Gunung Masigit hingga ketinggian 2.553 m dpl. Dalam perjalanan banyak sekali sampah-sampah bekas para pengunjung liar, termasuk para pendaki gunung. Padahal, Gunung Masigit bukan gunung di kawasan TNGP yang terbuka untuk pendakian. Akhirnya kami membuat base camp dan memasang tenda pada puncak Gunung Masigit. Dengan beralaskan abu-abu bekas serasah yang terbakar dan membuat di dalam tenda pun terasa panas, tak perlu mengenakan sleeping bag.

Namun, hingga sepuluh tahun ini aku belum tahu kepastian dari sumber api yang kali pertama dan menjadi penyebab kebakaran terhebat di lingkungan kawasan konservasi TNGP. Pada saat kejadian, dipersalahkan sumber api diduga berasal dari 9 pendaki gunung yang masuk Kampung Cilamping, Pasir Datar. Namun, pada perkembangannya ada diiusukan dengan adanya sabotase berkaitan kebakaran yang terjadi di kawasan TNGP itu secara beruntun mulai dari Gunung Sela dan Gunung Pangrango. Bahkan ada juga dugaan akibat sejumlah oknum masyarakat yang mengambil rotan dengan cara dibakar, karena agar mudah.

Bagiku persoalan penyebabnya sudah menjadi lain, saat ini yang paling penting, kita semua telah merasakan dampak dari kebakaran Gunung Masigit tersebut. Kendatipun semuanya itu tergantung sensitifitas pribadi manusianya masing-masing.

Silakan oleh sendiri, oleh jiwa yang bebas rasakan…………
Aku tidak bisa menjawab,
karena yang aku rasakan………
belum tentu yang lain merasakannya…….
Karena aku adalah bagian dari orang yang tak pintar……….
Dan yang aku bisa hanya memberikan info saja
Kendatipun, info tersebut hanya sebagai pengingatku
Untuk terus belajar….belajar……dan belajar…..

Balasan SMSku pun datang dari yang lainnya. Satu diantaranya dari mantan pemimpinku saat di Surat Kabar Pakuan Grup Pikiran Rakyat, Drs. Rahmat Djuniardi. Saat kejadian, Pak Rahmat masih menjadi wartawan Pikiran Rakyat yang ditugaskan di Sukabumi. Dengan guyonannya yang khas Pak Rahmat menuliskan sebagai berikut, “Iya yah….. Hidup & Lestarikan Lingkungan serta hidup BUDIYANTO. Hehe…he.. RADJOEN/SukabumiKOE”.

Nampaknya saking penasarannya, Pak Rahmat pun tidak lama kemudian menghubungiku lewat telepon genggamnya. Langsung kami pun ngobrol-ngobrol sambil mengenang kejadian kebakaran tersebut. Dia pun mengingatkanku pada saat kejadian, “Budi lagi di Majalengka ya…..!” Aku jawab ya…..saat itu aku memang lagi jadi jurnalis Bandung Pos di Majalengka. Bahkan Pak Rahmat pun langsung teringat dan menanyakan Eriek Nurhikmat yang saat itu berhasil mendokumentasikan foto-foto kebakaran.

Ya….memang tak trasa 10 tahun itu, kita lewatkan begitu saja…..apalagi tanpa melakukan pemantauan dan pengamatan secara rutin untuk kawasan bekas kebakaran tersebut. Tapi, bagiku sebenarnya 10 tahun yang dilalui ini serasa lama sekali. Karena sejak terjadinya kebakaran, aku pernah berharap ingin kembali naik……mendaki Gunung Masigit untuk melihat pohon-pohon besar yang tumbang hangus terbakar….. dan yang pasti perkembangan alamnya, bagaimana setelah sepuluh tahun terbakar.

Namun, pada waktunya ternyata tidak mudah untuk kembali mencapainya, bukan alasan perizinan, bukan alasan lainnya. Aku benar-benar lupa, benar…..benar lupa waktu kejadiannya. Dalam memoriku kejadiannya selalu bulan Oktober. Untungnya Jumat, 15 Oktober 2007 pagi aku mencoba membuka-buka arsip dan foto-foto. Alhasil musibah kebakaran yang sempat menggegerkan Sukabumi itu ternyata terjadi pada tanggal 23 September 1997 dan berlangsung hingga 5 Oktober 1997.

Sebenarnya untuk melaksanakan keinginanku menyaksikan kembali Gunung Masigit 10 tahun sudah kurencanakan pada awal tahun ini. Aku ingat…..aku sudah menawarkan kepada sejumlah orang, termasuk satu diantaranya salah seoarng temanku, Mode. Mode yang berbadan sterek dan kuat pun sudah menyatakan kesiapannya dengan penuh semangat, asal diberitahu sebelumnya. Dia pun siap membawakan barang-barangku, karena dia memaklumi kalau kakiku agak cedera.

Namun, Allah berkehendak lain, Mode telah kembali menghadap kepada Illahi Rabbi pemilik bumi ini. Sebelum dia menemaniku menginjakkan kakiku di Gunung Masigit. Dengan semangatmu, Mode….., Insya Allah, aku harus menginjakkan kembali kakiku di sisa-sisa kebakaran Gunung Masigit yang menghanguskan sekitar 200 hektar di lahan konservasi tersebut. Namun, lagi-lagi……entah kapan waktunya dan menunggu orang yang siap menjadi sukarelawan untuk membawakan sebagian barang-barangku…….

Sebenarnya dalam sepuluh tahun ini, aku sudah dua kali menapakkan kakiku di bekas-bekas kebakaran Gunung Masigit tersebut. Kedua-duanya pendakian tersebut juga bersama Eriek Nurhikmat, Erland Herlambang dan banyak temanku lainnya. Yang pertama, seingatku pada bulan Maret 1998, hanya beberapa bulan setelah terjadinya kebakaran. Dan yang kali kedua pada bulan Juli 2003 saat aku menjadi jurnalis pada SK Pakuan Grup Pikiran Rakyat di Sukabumi.

Mengenai Infoku tentang 10 Tahun Kebakaran Gunung Masigit direspon yang lainnya. Ada komentar bahkan ada pertanyaan. Ada Koko wartawan Kompas, ada Ajun wartawan Galamedia, ada QQ, ada juga yang ngoreksi waktu kejadiannya, ada juga yang membalas dengan cukup satu kata, “Merdeka”. Ada juga yang menulis, “Thank infonya, Mari kita berjuang terus melestarikan hutan dan alam kita”. Ya…..mudah-mudahan infoku yang kuberikan bermanfaat dan mengingatkan, khususnya bagiku untuk terus berjuang membela lingkungan ini…………semoga !

Rabu, 17 Oktober 2007

Dua Bulan, Owa Jawa tak Kunjung Memperlihatkan Dirinya

DUA bulan sudah aku tinggal di dalam Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) Resort Selabintana, namun tak kunjung jua Owa Jawa (Hylobates moloch) memperlihatkan dirinya. Sebenarnya aku sangat ingin melihatnya, ingin sekali menyaksikan atraksi bergelayutannya (brankiasi) antara batang pohon di atas ketinggian dari satwa yang arboreal (hidup di pohon) tersebut.

Buku panduan lapangan Primata Indonesia karya Jatna Supriatna dan Edy Hendras W sudah kumiliki. Peralatan seperti binokuler dan monokuler sudah kupersiapkan. Begitu juga kamera foto dan kamera video untuk mendokumentasikannya. Namun, usaha melihat dan menyaksikan kembali Owa jawa di Resort Selabintana itu mendapatkan jalan buntu.

Padahal, seingatku pada tahun 1996 untuk melihat satwa langka itu dengan mudah sekali, kendatipun tanpa harus memanfaatkan binokuler maupun monokuler. Kelompok Owa jawa itu biasanya berakhir nongkrong dan tidur di pohon Kiara. Jaraknya pun relatif dekat dari Pusat Informasi TNGP Resort Selabintana. Bila diambil lurus, paling jaraknya hanya sekitar 50 meter ke arah Barat Daya.

Banyak alasan dan kemungkinan hingga spekulasi, mengapa Owa jawa itu tidak mau nonghol dan memperlihatkan aksinya padaku…………..Tidak menutup kemungkinan juga, apakah Owa jawa di Resort Selabintana itu benar-benar sudah punah ?

Owa jawa atau dalam bahasa Inggrisnya Silvery Javan Gibbon merupakan salah satu satwa endemik (asli) yang hanya ditemukan di Pulau Jawa yang kelangsungan hidupnya sangat terancam kepunahan. Ancamannya berasal dari berbagai kemungkinan, apalagi sistem kekeluargaan Owa jawa yang menganut prinsip monogami (setia, sehidup semati hanya dengan pasangannya) dan jarak angka kelahirannya pun sangat lama 3 – 4 tahun dengan hanya melahirkan 1 - 2 ekor bayi.

Ancaman lain berasal perburuan yang masih terus berlangsung, juga masih menjadi momok yang terus mengancam kelangsungan Owa jawa. Pengrusakan hutan dan perubahan fungsi hutan bisa jadi merupakan ancaman paling terbesar, karena menyangkut habitatnya. Belum lagi ancaman kegiatan wisata dan wisatawannya yang tidak pro satwa, apalagi Owa jawa merupakan satwa yang sangat sensitif.

Sebenarnya mengamati Owa jawa di blok Citinggar (sebelah barat dari Information centre) hanya iseng saja, karena aku sempat bergabung menjadi sukarelawan sejak tahun 1990-an. Dan sempat pula iseng-iseng mencatat kehadiran Owa jawa tersebut di lokasi yang selama dua bulan lalu kuamati kembali menunggu kehadirannya. Catatan yang tidak detail hanya sebatas coretan tangan dari pada ga nulis, berkisar antara Kamis, 4 Juli 1996 hingga Senin, 15 Juli 1996.

Dalam catatan tersebut, ada empat Owa jawa terdiri dari dua dewasa dan dua bayi yang kuyakini bertengger dan tidur di pohon kiara. Dan bila kuingat-ingat, di pohon kiara itu, aku pun sering menyaksikan atraksi Owa jawa yang bergelantungan hingga mencapai enam ekor. Bahkan sempat sedih dan kasihan kalau sudah menjelang malam, apalagi turun hujan deras.

Sempat terpikir dalam benakku, apakah mereka itu tidak kedinginan, bagaimana bayi Owa jawa yang mungil-mungil itu apakah dilindungi induknya. Apakah tidak akan terserang flu, karena seharian kecapaian setelah bermain-main bergelayutan di batang dan ranting pohon. Kuberpikir juga bagaimana kalau mereka saat tidur pulas mengigau lalu jatuh. Dan banyak pertanyaan-pertanyaan dalam benakku yang hingga kini tak terjawabkan………

Dalam buku catatan tersebut, bukan saja Owa jawa yang beratraksi di blok Citinggar, melainkan ada primata lainnya, Lutung (Trachhypitecus auratus) dan Surili (Presbytis comata). Seingatku, bukan seingat penelti hasil akademisi, yang muncul dan kelihatan pertama kali di sekitar blok Citinggar tersebut biasanya Lutung, lalu diikuti Surili dengan suara teriakannya yang khas. Dan yang terakhir tampil Owa jawa, biasanya sudah terdengar suaranya yang khas, kendatipun masih di kejauhan.

Bila diamati mendalam, ketiga primata itu nampak ada tingkat kekuasaan sesuai dengan lereng di blok Citinggar. Lutung selalu menjadi pendahulu dan berada di pohon yang letaknya paling bawah lalu diikuti Surili di tengah dan Owa jawa di bagian pohon yang tumbuh paling atas.

Belajar dari pengalaman 10 tahun lalu, sebenarnya aku sudah yakin akan berhasil melihat Owa jawa di blok Citinggar. Apa sebabnya pada awal pengamatan 25 Juli 2007 aku melihat enam ekor Lutung yang beberapa hari selanjutnya muncul dua ekor Surili. Dalam benakku, berarti Owa jawa tidak lama lagi akan muncul. Kuperhatikan setiap pagi, mungkin akan terdengar suaranya, namun, hingga pengamatan berakhir, tidak muncul-mucul juga.

Bahkan pada suatu malam, aku sempat bermimpi kalau dari tiga jenis primata itu turun secara bergiliran hingga batu yang berada hanya sekitar 10 meter ke arah Barat dari Pondok Jaga. Dan aku hanya bisa terpaku dan bengong menyaksikannya dari balik kaca jendela. Ketiga kelompok primata tersebut bergaya di depanku dan akupun sibuk memainkan kameraku dari balik jendela kaca.

Aku tetap bersemangat dan masih ingin melihatnya…………….Kendatipun, memang Owa jawa tersebut kuyakini sulit sekali untuk dapat kembali ke Blok Citinggar di samping Information Centre. Dan nampaknya hanya bisa menyaksikan Owa jawa di kedalaman rimba belantara, karena pada suatu hari akupun sempat mendengar lengkingan khas suaranya di Jalur Pendidikan Lingkungan, sekitar 1.300 meter dari Information Centre. Dan kuyakini, semuanya Tuhanlah yang mengatur.

Senin, 15 Oktober 2007

"BUMI UNTUK SEMUA !"

Bloggers Unite - Blog Action Day
SESUNGGUHNYA manusia hanyalah salah satu unsur dari lingkungan di muka bumi ini yang diciptakan Tuhan. Kendatipun demikian, hanya manusialah yang diberikan akal dan pikiran serta dimuliakan Tuhan. Bahkan juga diberikan kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan unsur-unsur lingkungan lainnya.

Namun kebanyakan manusia menjadi lupa diri, padahal Tuhan pun menghendaki agar dalam pengelolaan dan pemanfaatan unsur-unsur lingkungan lainnya itu tidak dengan berperilaku serakah dan tidak membuat kerusakan di muka bumi ini. Serta dingatkan pula, agar manusia tidak menghambat dan merugikan kepentingan unsur-unsur lingkungan ciptaan Tuhan lainnya.

Dengan kalimat lain, agar manusia tetap membina hubungan baik dengan anak manusia lainnya, tidak mementingkan diri sendiri sehingga merugikan pihak lainnya. Juga, manusia harus mengingat dan mementingkan unsur lingkungan lainnya yang diciptakan Tuhan. Karena sesungguhnya manusia hanyalah salah satu unsur lingkungan di muka bumi itu sendiri.

Dan antara manusia dengan unsur lingkungan lainnya memiliki kedudukan yang sama sederajat sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Seiring perjalanan waktu, lingkungan terus mengalami perubahan bahkan terjadi kerusakan di berbagai belahan bumi ini. Diantaranya, perubahan dan kerusakan di muka bumi ini disebabkan ulah manusia itu sendiri. Seperti banjir, longsor, pencemaran baik di darat, sungai, laut maupun udara, kekeringan, kebakaran hutan, timbulnya berbagai jenis penyakit dan masih banyak lainnya.

Akibat semuanya itu, tentunya manusia juga yang sangat menderita. Kelangsungan hidup manusia, ternyata memang sangat tergantung dari unsur lingkungan lain yang diciptakan Tuhan.

Untuk itu, yang dibutukan sekarang adalah menjalankan kehidupan di muka bumi ini harus dengan selalu merangkul semua ciptaan Tuhan lainnya. Tidak hanya mementingkan kepentingan manusia saja. Karena harus diingat manusia bukan segala-galanya di muka bumi ini, tanpa unsur-unsur lingkungan ciptaan Tuhan lainnya itu, manusia tidak bisa berbuat apa-apa………!

“Pada intinya, manusia harus berlaku arif dan bijaksana dalam mempergunakan akal dan pikiran yang diberikan Tuhan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan unsur lingkungan lainnya !” Adakah niatan berbuat sederhana saja dalam menyelamatkan lingkungan di muka bumi ini untuk kepentingan generasi sekarang dan masa yang akan datang ?

Mari berbuat sesuatu, mulai dari diri kita sendiri, mulai sekarang juga walaupun sangat kecil, namun akan sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia, unsur lingkungan lainnya di muka bumi ini ! Masih banyak hal sederhana yang dapat dilakukan ! Dan kami pun, Insya Allah sudah mencoba dan memulainya.........
Selamatkan lingkungan di muka bumi ini, demi sekarang dan masa depan ! Siapa lagi kalau bukan oleh manusia.
Think Globally Act Locally.




Kamis, 11 Oktober 2007

Selamat Datang

"BARU HALIMUN" (inan ginanjar/Kusukabumiku)

Kawasan Wisata Alam "Baru Halimun - Cipelang" yang kini lebih dikenal dengan "Pondok Halimun" (PH) di Desa Perbawati (pemekaran dari Desa Karawang) dan Sudajaya Girang
Kecamatan/Kabupaten Sukabumi Prov. Jawa Barat merupakan pintu gerbang menuju rimba belantara Gede Pangrango wilayah Selatan.
Di kawasan tersebut terdapat Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) - Departemen Kehutanan, juga kawasan lainnya yang dikelola PTPN VIII Goalpara - Afdeling Perbawati dan Dinas Pariwisata Daerah (Diparda) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi. Juga masih terdapat kawasan yang masih dimanfaatkan Perum Perhutani padahal status kawasannya sudah diserahkan sebagai kawasan konservasi.
Di kawasan wisata alam PH ini, selain obyek pemandangan alam dan berbagai keunikan dari Gede Pangrango, juga terdapat bumi perkemahan (buper). Setiap libur dan Minggu, kawasan tersebut ramai dipadati pengunjung dari berbagai daerah, bukan saja hanya dari masyarakat lokal Sukabumi. Selain menikmati pemandangan, ke air terjun Cibeureum, tea walk juga berkemah. Bahkan kalau musim liburan dan mulai masuk tahun ajaran baru, kawasan tersebut, terutama buper selalu dipenuhi para pekemah, baik dari tingkat pelajar hingga mahasiswa.
Di sekitar kawasan tersebut, berbagai jenis satwa langka dan terancam punah banyak terdapat di sekitarnya. Mulai dari jenis primata seperti Lutung dan Surili. Sebelumnya beberapa tahun lalu, Owa jawa juga sering muncul di sekitar kawasan tersebut.Namun, kini sulit dilihat. Selain itu terdapat berbagai jenis burung, termasuk yang paling langka dan terancam punah, yakni Elang jawa.
Yang menjadi keprihatinan, pengelolaan antar kawasan masih belum harmonis, sehingga mengancam keselamatan alam di sekitarnya.


SELAMATKAN HUTAN YANG TERSISA !