Sabtu, 03 November 2007

SEBUAH CATATAN DARI SUNGAI CIPELANG

“…..ulah ulin kadinya, etamah hulu cai, pamali ! bisi aya nanaon…….” (pepatah sunda)
Kawasan rimba belantara Gede Pangrango dengan kisaran ketinggian antara 700 hingga 3.019 meter dari permukaan laut (m dpl) merupakan salah satu perwakilan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan yang menurut sejumlah ahli termasuk kawasan alami yang relatif utuh di Pulau Jawa. Namun, sebenarnya kondisi alaminya semakin hari semakin terancam, baik secara alami maupun akibat berbagai aktifitas manusia yang legal dan illegal.

Padahal rimba belantara Gede Pangrango tersebut memiliki manfaat yang sangat vital dan sangat besar sekali bagi kehidupan manusia. Diantaranya sebagai sumber air (menurut catatan Gede Pangrango mengalirkan air pertahun mencapai 8 milyar liter), sumber oksigen dan pengatur kestabilan iklim baik mikro maupun makro. Juga, sebagai hutan tropis, Gede Pangrango dipastikan sebagai salah satu “paru-paru dunia”


Manfaat dan kenikmatan tersebut telah dirasakan terus menerus dari generasi ke generasi berikutnya. Kendatipun, generasi saat ini nampaknya tidak merasakan apa yang dirasakan generasi yang lalu, sebelum rimba belantara Gede Pangrango terjamah. “Dan rimba belantara Gede Pangrango ini harus diselamatkan dan mendapat perlindungan khusus sekarang juga, demi kepentingan saat ini dan masa yang akan datang !”

Kawasan bergunung-gunung nan gagah dan penuh misteri itu, letaknya sangat strategis dikelilingi perkampungan dan perkotaan seperti Sukabumi, Cianjur, Bogor, Cianjur, Bandung dan Ibu Kota Republik Indonesia di Jakarta. Diperkirakan jumlah penduduk yang berada dan merasakan manfaatnya dari Gede Pangrango itu lebih dari 30 juta jiwa.

Sejak 6 Maret 1980 oleh Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Pertanian, rimba belantara Gede Pangrango tersebut ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi yakni sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan statusnya sebagai “Taman Nasional Gunung Gede Pangrango” (TNGP) dengan luas 15.196 hektar. TNGP pun merupakan salah satu dari lima taman nasional tertua di Indonesia.

Sejak tahun 2003, berdasarkan SK Menhut No. 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 kawasan TNGP diperluas menjadi 21.975 hektar. Kawasan perluasan berasal dari hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani. Dan sejak Agustus 2007 ini, status pengelolaan TNGP ditingkatkan dari Balai TNGP menjadi Balai Besar TNGP dengan dipimpin oleh pejabat eselon 2. Balai Besar TNGP membawahi tiga Kepala Bidang Pengelolaan TN dengan dipimpin pejabat eselon 3, yakni Bidang PTN Wilayah Sukabumi, Cianjur dan Bogor.

Sebenarnya, perlindungan kawasan rimba belantara Gede Pangrango sudah diawali sejak jaman kolonial Belanda pada tahun 1830 dengan berdirinya Botanical Garden di wilayah Cibodas yang menjadi cikal bakal Kebun Raya Cibodas. Juga pada tanggal 17 Mei 1889, pemerintah Hindia Belanda membentuk Cagar Alam Cibodas dengan luas 240 hektar. Dan tahun 1977, UNESCO menetapkan Gede Pangrango sebagai Cagar Biosfer Cibodas yang merupakan paru-paru dunia, dengan kawasan TNGP sebagai zona intinya.

TNGP yang berada di bawah naungan Departemen Kehutanan – Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) mempunyai visi : “Terwujudnya pengelolaan TNGP berdasarkan pelestarian ekosistem yang adil, demokratis dan berbasis kerakyatan” dengan misinya Mewujudkan pengelolaan TNGP dengan memperhatikan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis beserta ekosistemnya dan pemanfaatan biodiversitas secara lestari. Dan Mewujudkan pengelolaan TNGP yang berwawasan sosial, budaya, lingkungan dan ekonomi.

Sungai cipelang

Namun, sayangnya salah satu hutan yang tersisa di muka bumi ini dan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia, menurut berbagai informasi, kini kondisinya tidak luput dari berbagai pengrusakan dan penghancuran. Diantaranya, akibat pembalakan liar (illegal logging), penjarahan, perambahan kawasan, perburuan flora dan fauna, pengunjung dan pendaki gunung liar, pengunjung yang tidak peduli, kegaduhan atau kebisingan para pengunjung, kegiatan wisata massal dan juga banyak gangguan lainnya.

Bahkan pengrusakan dan penghancuran kawasan tersebut dapat diakibatkan juga oleh pemanfaatan legal dari pengelola itu sendiri, yakni TNGP. Semisal pembuatan program kegiatan yang pada kenyataannya dilakukan secara asal-asalan, hanya sebatas proyek yang tidak berkesinambungan. Juga, bisa berasal dari oknum petugas TNGP sendiri. Tentunya bagi petugas yang tidak memiliki dedikasi dan integritas tinggi terhadap tugas yang diembannya atau ingkar dari konservasi.

(Semoga saja hal ini tidak terjadi dan jangan sampai terjadi terus di TNGP. Karena bila pengelola Gede Pangrango terus melakukannya, perlahan tapi pasti hutan kebanggaan warga Indonesia ini akan cepat musnah).

Sedangkan sebagai masyarakat pada umumnya yang mendapatkan manfaat dari Hutan Hujan Tropis Pegunungan Gede Pangrango ini, baik secara langsung maupun tidak langsung sudah sepatutnya harus ikut bertanggungjawab atas keselamatan rimba belantara tersebut untuk kepentingan sekarang dan masa yang akan datang.

“Apalagi luas rimba belantara Gede Pangrango semakin tidak sebanding dengan jumlah populasi manusia yang membutuhkan oksigen dan air dari Gede Pangrango.”

Dari kawasan hutan hujan tropis pegunungan Gede Pangrango mengalir sejumlah 1.075 anak sungai yang bermuara pada 58 sungai induk, diantaranya Sungai Cipelang. Airnya mengalir dengan jernih dan merupakan sumber air kehidupan yang sangat paling vital bagi masyarakat yang tinggal di bawahnya. Sungai Cipelang, sekarang ini harus dan sangat perlu mendapat perhatian dari berbagai kalangan untuk ikut bertanggungjawab dan ikut andil dalam menyelamatkannya.

Apalagi menurut informasi, beberapa tahun lampau kawasan hutan di sekitar hulu Sungai Cipelang sempat dieksploitasi hingga terjadi pengrusakan. Mulai dari penebangan pohon-pohonnya untuk membuat bahan bangunan hingga dibuat untuk arang. Begitu juga, kehidupan dan material Sungai Cipelang mulai dari pasir hingga batu-batunya sempat dieksploitasi. Namun secara alami dan bertahun-tahun kawasan hutan di hulu Sungai Cipelang itu ‘berhasil mengobati luka-lukanya yang parah dengan sendirinya’.

Kini setelah kawasan tersebut pulih secara alami, kembali dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Dan, pengrusakan hingga penghancuran terjadi kembali dan mengancam kelangsungan kehidupan. Bahkan bila dibiarkan mungkin akan lebih parah dari sebelumnya. Sejak tahun 1980-an, kawasan Sungai Cipelang yang juga dikenal dengan nama “Baru Halimun” menjadi salah satu tujuan obyek wisata di Kabupaten Sukabumi, terutama bagi para penggiat alam bebas dan para pekemah.

Diawali dengan dimanfaatkannya kawasan lindung milik PTPN VIII Goalpara – Afdeling Perbawati untuk perkemahan oleh sejumah penggiat alam bebas dan para pekemah yang diikuti dengan berdirinya warung-warung di pingiran Sungai Cipelang. Selanjutnya, kawasan “Baru Halimun” tersebut menjadi semakin terbuka dan terkenal setelah dibukanya buper oleh Perum Perhutani, Taman Nasional Gede Pangrango hingga Dinas Pariwisata Daerah (Diparda) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi.

Namun harumnya nama Sungai Cipelang dan “Baru Halimun” luluh mengikuti jaman setelah Pemkab Sukabumi memberi nama obyek wisata yang dikelola Diparda tersebut dengan nama “Pondok Halimun” alias PH. Padahal, baik Sungai Cipelang dan “Baru Halimun” mengandung banyak makna dan sejarah yang seharusnya dipertahankan dan dilestarikan.

Selain pemandangan alam dan suasana alami yang selalu diselimuti kabut (halimun) di kawasan hulu Sungai Cipelang itu, juga merupakan salah satu Pusat Kunjungan ke TNGP untuk penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas dan rekreasi. Diantaranya, terdapat jalur pendakian ke Gunung Gede dan Gunung Pangrango, bumi perkemahan (buper). Dan berjarak sekitar 3,5 kilometer terdapat air terjun, Curug Cibeureum yang merupakan salah satu tujuan rekreasi ke kawasan wisata ‘Baru Halimun”.

Untuk itulah Kusukabumiku sebagai bagian dari masyarakat yang telah mendapatkan manfaat banyak, baik langsung maupun tidak langsung dari rimba belantara Gede Pangrango itu, ingin melakukan upaya pembelaan untuk kawasan tersebut. Kendatipun saat ini upaya yang dilakukan hanya berlokasi di sekitar Sungai Cipelang – “Baru Halimun”.

“Karena, Sungai Cipelang di “Baru Halimun” ini merupakan sumber air bagi kelangsungan kehidupan masyarakat di sekitarnya, termasuk juga bagi sejumlah sukarelawan dan pendukung Kusukabumiku.”

Adapun kegiatannya diberinama SUKA di GP (Solidaritas untuk Keselamatan Alam di Gede Pangrango). Kegiatan SUKA di GP merupakan salah satu rangkaian dari program kerja utama “Stop Merusak Lingkungan Sekarang juga dan Selamanya”. Dan untuk tahun 2007 ini, penjabaran program utama tersebut dikonsentrasikan pada program “Selamatkan Hutan yang Tersisa !”.

Kegiatan dilaksanakan, diantaranya melalui kampanye, pendidikan, pemantauan dan pengamatan serta publikasi dan dokumentasi dengan berbagai cara, baik spontanitas, terencana hingga terbuka maupun tertutup. Diantaranya kegiatan “Belajar Mengenal Hutan secara Alami” , peringatan Hari Bumi 22 April 2007, Operasi Sampah, penyebaran lembar informasi, pelayanan pengunjung dan pengamatan burung.

Pelaksanaan kegiatan seluruhnya dipusatkan di wilayah TNGP Resort Selabintana dan sekitarnya. Pada pelaksaanaan kegiatan melibatkan para pendukung dan sukarelawan Kusukabumiku, masyarakat Kampung Selajambu Desa Warnasari Kecamatan/Kabupaten Sukabumi, sejumlah pelajar, petugas TNGP dan sejumlah anggota Volunteer Panthera.

Sementara dalam kegiatan SUKA di GP yang dilaksanakan secara spontanitas pada 25 Juli hingga 24 September 2007 (selama dua bulan) merupakan sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan bagi Kusukabumiku dalam melaksanakan kegiatan SUKA di GP selanjutnya. Banyak hasil yang didapat dari kegiatan spontanitas selama dua bulan tersebut yang perlu mendapat kajian dan penanganan khusus.

Dan diharapkan ke depannya SUKA di GP ini tetap berjalan dan dapat melibatkan banyak orang dengan disesuaikan kemampuannya masing-masing. Karena rimba belantara Gede Pangrango, saat ini dan selanjutnya sangat membutuhkan uluran tangan, bukan saja para ahli dibidang konservasi, kehutanan dan ekologi, melainkan semua orang.

Dan yang paling penting adalah masyarakat yang berkomitmen terhadap upaya penyelamatan dan perlindungannya………. , bukan masyarakat yang hanya berpikir dari sisi pemanfaatannya melulu……….Karena, disinyalir sampai saat ini pengelolaan Gede Pangrango, banyak sebatas proyek…..dan nilai proyek yang tidak berkelanjutan. “Tak ada benang merahnya !”

Saat ini, SUKA di GP mendapat bantuan dari sukarelawan dan pendukung Kusukabumiku serta sejumlah masyarakat yang tidak menghendaki kawasan rimba belantara Gede Pangrango rusak dan musnah……….

Kusukabumiku mengundang siapapun untuk ikut aktif terlibat dalam kegiatan SUKA di GP, boleh sebagai pemberi do’a, pemikir, pelaksana, pendukung, sukarelawan, simpatisan dan boleh juga hanya sebagai donatur saja !!!!
BILA ANDA TIDAK MAU RIMBA BELANTARA GEDE PANGRANGO RUSAK DAN MUSNAH, BERGABUNGLAH BERSAMA SUKA DI GP !

foto-foto : budi dan inan/kusukabumiku